Potensi-Potensi Perdamaian Masyarakat Melayu

Abstraksi

Perdamaian dikembangkan dan diperjuangkan secara terus-menerus dengan tidak ada batasan waktu kapan terjadi perdamaian yang dicita-citakan. Tidak ada pola dan kecendrungan keberhasilan disuatu tempat akan berhasil dengan gemilang ditempat yang lain. Masyarakat Melayu, dalam beberapa hal tulisan ini secara empiris dibahas lebih banyak tentang masyarakat Melayu Sambas diungkap sebagai masyarakat egaliter dengan kondisi sosial, budaya dan politik yang khas dan menyimpan potensi perdamaian dalam proses panjang perdamaian transformatif. Potensi-potensi perdamaian yang selama ini gagal digali dari budaya, terutama yang diasumsikan menjadi penyebab konflik dan ketidakmaian lebih diungkap dari potensi sosial, komunikasi sosial dan komunikasi kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat, bahkan dimulai dari individu. Ini dilakukan menjadi pekerjaan kumulatif panjang termasuk tidak terlepas dari kondisi politik yang mulai berubah membaik dengan hasil-hasil Pilkada terbaru. Sebuah harapan baru untuk perdamaian.

Kata kunci: Melayu, Potensi Perdamaian, Transformasi Konflik,

Pada suatu pertemuan pegiat LSM (dimana pegiat itu sendiri lebih senang menyebutnya NGO) di Pontianak diajukan sebuah pertanyaan mengenai apa arti damai sesuai dengan pandangan masing-masing. Peserta menimbulkan tanggapan beragam dan bisa disebut dengan berwarna. Ada yang menarik, karena ada yang menjawab bahwa damai itu hal yang biasa. Biasa dimana semuanya berjalan dengan apa adanya tanpa ada gangguan fisik atau perasaan. Segala sesuatu berjalan apa adanya pada kondisi dan situasinya masing-masing. Pada akhirnya sebagian besar peserta berkesimpulan sementara bahwa damai diartikan secara sangat teknis dimana situasi atau kondisi tanpa konflik, perang atau berbagai bentuk kekerasan fisik lainnya.

Harris dan Morrison (2004) mengajukan istilah damai yang negatif dan damai yang positif. Damai dalam pengertian negatif hanya terbatas pada semata-mata penghentian kekerasan. Damai secara positif memuat pengertian standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya partisipasi dari rakyat terhadap negaranya. Perdamaian dalam makna ini memuat juga pola kerjasama untuk resolusi konflik, penghargaan terhadap keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar, penghargaan terhadap hak azasi manusia, serta menghargai kemanusiaan tanpa prasangka dan diskriminasi.

Sekarang mari kita lihat Kalimantan Barat. Tanah rentan yang tertimpa bencana konflik etnis berkali-kali sejak jaman pra-kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, yang dikelompokkan beberapa kali oleh para ahli tentang konflik kekerasan ini. Begitu juga dengan analisa tentang penyebabnya juga beragam, dari kultur, sosial dan budaya serta politik. Beberapa formula dan rumusan sudah dicari, beberapa mantra telah terucapkan dan beberapa pertemuan tokoh telah dilakukan. Dan hasilnya kita lihat sekarang. Sebagian melihat ini masih api dalam sekam yang bisa menyala sewaktu-waktu, dan yang paling mengejutkan tentunya pemicunya bisa apa saja, dari malam dangdut, rebutan pacar, ambil rumput, sampai pada alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Merupakan catatan yang penting, pada semua konflik kekerasan antar etnis, sampai sekarang belum satupun upaya rekonsiliasi yang difasilitasi resmi dilakukan oleh pemerintah. Berbeda dengan konflik di Maluku yang mendapat perhatian serius dan langsung ditangani pemerintah langsung melalui wakil presiden dengan melahirkan Baku Bae, yang tidak lepas dari peran para aktivis perdamaian. Beberapa upaya mencapai belum mencapai hasil yang maksimal, tapi beberapa dialog (atau pertemuan, atau rembuk atau kesepakatan perdamaian atau muncul dengan beragam istilah yang disepakati) yang telah dilakukan jelas menunjukkan keinginan pihak-pihak yang bertikai untuk segera mengakhiri kekerasan dan mengakhiri pertikaian dan permusuhan dengan cara damai. Semua pihak lelah dengan kekerasan dan bermaksud menyelesaikan semua pertikaian dan perselisihan dengan cara yang damai.

Salah satu dialog yang dihadiri beberapa peserta yang mewakili kelompok etnis dan orang yang dianggap berpengaruh pada tahun 1999 di Hotel Surya (dulu namanya Hotel Khatulistiwa 3), jelas menggambarkan suasana yang tegang pada awalnya, semua bersikukuh pada kebenaran masing-masing, pada posisi masing yang menganalisa dan beranggapan darimana konflik ini berasal dan menjalar cepat. Acara pertemuan yang dipandu oleh seorang moderator tersebut pada mulanya tegang, panas dengan alur yang berputar-putar dan sulit mencapai kesamaan sudut pandang, apalagi mencapai kesepakatan. Tapi pada akhirnya para peserta memng sepakat untuk menyelesaikan pertikaian dan perselisihan tanpa kekerasan.

Waktu mau memulai tulisan ini, terus terang sulit untuk melihat potensi damai yang dimaksudkan atau mulai dari mana. Apalagi dengan definisi dengan memenuhi syarat-syarat damai secara positif yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial tersebut diatas. Kondisi sekarang, ada yang menyebutkan, adalah kondisi tenggang dimana kekerasan akan bisa muncul kapan saja atau berulang pada waktu tertentu.
Saya justru percaya sebaliknya, mungkin saja ini bukan masa tenggang sama sekali, karena tetap ada peluang untuk konflik kekerasan tidak akan muncul lagi. Anggapan yang menyiratkan konflik terjadi berulang dalam kurun waktu tertentu adalah tidak mutlak, karena waktu itu adalah lurus, tidak mundur dan berulang. Itu hanyalah keterbatasan manusia mencari batasan waktu, maka tercipta jam, hari, minggu, tahun, dan dekade. Waktu hanyalah siang berganti malam dan seterusnya berganti siang, berjalan terus, tidak mundur dan berulang.

Kembali melihat kondisi masyarakat Kalbar dan kondisi perdamaian yang positif seperti diutarakan diatas. Kita masih jauh dari standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya partisipasi dari rakyat terhadap negaranya bahkan untuk pemenuham kebutuhan dasar, untuk makan secara layak. Namun demikian, mencari potensi perdamain justru pertanyaan yang mudah dirumuskan dan sulit dicari tanggapan atau jawabannya. Apalagi dalam konflik etnis, misalnya antara Madura-Melayu yang secara prinsip sesama pemeluk Islam. Dalam konteks ini, ada yang menganggap bahkan agama tidak bisa mencari solusinya terbukti sesama muslim masih bisa saling memusuhi. Berarti kita harus berangkat dari permulaan yang lain, dari potensi yang lain. Keniscayaan memandang titik awal perdamaian ini adalah suatu keniscayaan yang tetap harus kita cari.

Menarik berangkat dari kata ”biasa” diatas dan mungkin kita bisa berangkat dari potensi ini, karena perdamaian adalah hal yang alamiah. Kondisi seperti ini bisa dikatakan kondisi yang damai, selama hal tersebut akan menjadi tetap, menjadi tetapan. Perdamaian adalah sesuatu yang harus tersu menerus diperjuangkan.

Berangkat dari para pemikir transformasi konflik (Miall, 2001) yang berargumen bahwa konflik kontemporer memerlukan lebih dari memposisikan kembali identifikasi win-win (dimana pihak-pihak yang berkonflik sama-sama menang, sama-sama tidak dirugikan dalam konflik tersebut), tapi lebih kepada mengubah (atau mentransformasi) hubungan, minat, wacana, dan jika perlu mengubah konstitusi yang melanggengkan konflik. Bearti perdamaian diciptakan dari mentransformasi potensi yang ada untuyk berkontribusi pada usaha perdamaian.

Masyarakat dalam pihak yang berkonflik dan terpengaruh oleh konflik semuanya memiliki peran komplementer, saling melengkapi dan mempunyai pengaruh dan memainkan peran dalam proses panjang membangun perdamaian. Lebih lanjut ini mengharuskan pendekatan yang komprehensif menekankan pada dukungan kelompok dalam masyarakat yang berkonflik ketimbang mengandalkan mediasi dari pihak luar. Dengan demikian konflik diubah secara bertahap, melalui serangkaian perubahan kecil dan besar sebagaimana juga dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh [pelaku yang beragam yang mungkin memainkan peran yang penting.

Lalu dimana peluang kita untuk melihat potensi damai ini? Sebaliknya justru, kondisi seperti ini yang dianggap ’biasa’ bisa menggunakan semua media yang ada termasuk selalu melakukan mediasi perdamaian menggunakan media yang yang ada. Secara bersamaan, usaha-usaha resolusi konflik harus selalu diimbangi dengan upaya-upaya mengoptimalkan alat-alat perdamamaian. Mulai dengan, misalnya, ’radio perdamaian’, ’koran perdamaian, ’ kelompok perdamaian’ dan diseminasi informasi potensi damai sebanyak mungkin.
Dalam masa tenggang ini peluang kita untuk menciptakan perdamaian cukup besar dan banyak potensi yang bisa digali. Atau dari sudut pandang transformasi konflik, konflik ini merupakan peluang besar untuk perdamaian. Semua hal yang terdapat sekarang setelah terjadi konflik bisa ditransformasi atau dirubah untuk menjadi alat perdamaian. Energi-energi yang ada bisa diubah menjadi alat-alat perdamaian.

Tulisan ini diungkap dari pengalaman empiris, berdasarkan referensi tentang sosial budaya masyarakat Melayu dan dan beberapa hasil wawancara yang memuat gagasan-gagasan perdamaian, baik kecil maupun besar yang diletakkan secara seimbang sebagai pecahan kecil dalam rangkaian gambar yang sangat besar. Bagian dari wawancara ini sebagian besar dilakukan dengan beberapa individu-individu dari kelompok masyarakat Melayu Sambas.

Masyarakat Egaliter yang Merampungkan Teka-Teki Besar
Dari data BPS Kalimantan Barat berdasarkan Sensus Penduduk terakhir (tahun 2000), disebutkan bahwa komposisi penduduk adalah sebagai berikut: Dayak yang berjumlah 1.234.162 jiwa atau 33% dari total penduduk yang berjumlah 3.732.940 jiwa. Selain Dayak, terdapat etnik-etnik lainnya yakni Melayu (1.208.537 jiwa), Jawa (341.173 jiwa), Madura (203.612 jiwa), Sunda (89.493 jiwa), Bugis (121.223 jiwa), Sulawesi (non-Bugis: 30.091 jiwa), Batak (18.809 jiwa), Padang (7.493 jiwa), Sumatra (non-Batak dan Padang: 12.755 jiwa), Banjar (24.117 jiwa), Cina (352.939 jiwa), Arab (3.549 jiwa), India (929 jiwa), lainnya (83.537 jiwa), dan warga asing (531 jiwa)

Pluralitas etnik tersebut dalam kenyataannya jauh lebih kaya daripada data Sensus Penduduk. Selalu ada yang tidak bisa diungkap atau keterbatasan sensus seperti demikian. Dalam etnik Melayu setidaknya terdapat subetnik Melayu Sambas, Mempawah, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Ketapang yang masing-masing daripadanya memiliki bahasa dan budaya yang unik, dengan dimensi beragam termasuk sastra dan perilaku komunikasi sosial.

Berbicara tentang masyarakat Melayu kemudian merujuk kepada banyak hal: bahasa, sastra, kesenian, adat-istiadat, tempat, orang, kaum, etnis, bahkan ras. Identitas kebudayaan dan etnis wujud sebagai kesadaran akan diri (identitas pribadi), kesadaran akan kelompok etnik (identitas etnik), atau kesadaran sebagai pewaris budaya tertentu (identitas budaya) bersifat dinamis. Secara kontemporer, setelah kedatangan Islam, sistem kebudayaan itu diwarnai oleh ruh Islam sehingga sebagian orang mengidentikkan Melayu dengan Islam. Merujuk pada identitas Melayu dengan Islam bersifat objektif dan subjektif. Objektif karena raja beragama Islam sehinggga keturunannya pun Islam; subjektif, karena siapa pun yang memeluk Islam disebut Melayu. Bila dilihat dari pilar bahasa (dan kebudayaan), dapat juga dikatakan bahwa muslim dan non-muslim dapat disebut Melayu sejauh mereka hidup dalam cara hidup Melayu, berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan menjalankan adat-istiadat Melayu (Chairil Effendi, 2001).

Mata pencarian masyarakat Melayu di pedalaman dan di pesisir Kalimantan Barat umumnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu memanfaatkan hasil laut, menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Mata pencarian masyarakat yang lebih agak jauh dari laut, seperti di Sungai Itik dan pendatang dari Sambas, misalnya, secara tradisional adalah berburu di lokasi hutan disepanjang daerah pesisir dan menggantungkan hidup dengan sumber alam di laut dan sungai dengan menangkap ikan dan sumber alam lainnya yang ada. Alat yang digunakan untuk berburu yang digunakan seperti senapan. lantak, tombak, belati atau parang, jaring, jerat, sumpit, perangkap, jerat dan getah.

Berburu dilakukan untuk menangkap hasil buruan kancil atau pelanduk, kijang dan rusa, dan juga burung seperti peregam, tekukur, imbok, punai, bangau. Mata pencarian lain adalah bertani dengan bentuk bertani di ladang, humé belukar tua dan ‘serandang’. Bentuk mata pencarian lain adalah termasuk ‘meramu’, yaitu mengambil tumbuh-tumbuhan di hutan seperti bahan untuk makanan, bahan-bahan untuk mambangun rumah yang disebut ‘ramuan’. Termasuk meramu getah jelutung, damar, aren atau air legen untuk dijadikan gula kerek atau gulau aren (enau). Masyarakat yang tinggal didekat perairan, sungai dan laut sangat menggantungkan hidupnya dengan sungai dan laut dengan menangkap ikan dan sumber alam lainnya. Penangkapan ikan di laut menggunakan alat-alat tradisional seperti sero, rawai, pukat hanyut, trawl, belat, pancing, jaring, kail, kelong dan jermal. Penangkapan ikan yang dilakukan di darat adalah nimba, ngammal, nanggok, jala, pukat, bubu, tajur, kail, ilar, lukah, rawai dan serampang. Secara kategoris, namun, masyarakat ini tidak bisa dibedakan apakah sebagai nelayan dan petani dengan melihat mata pencarian mereka tersebut. Diwaktu musim melaut bagus, yaitu dimana ombak tidak besar dan cuaca baik, mereka akan bekerja di laut; menangkap ikan dan melakukan budidaya sumber alam laut. Sebaliknya, dalam waktu tertentu justru mengerjakan humé atau ladang dan meramu jika laut tidak bersahabat.

Dikutip dari Chairil Effendi (2003), berdasarkan pembacaan terhadap sejumlah teks, identitas masyarakat Sambas memperlihatkan sosoknya yang multidimensional. Secara umum identitas budaya masyarakat Sambas digambarkan sebagai pemeluk Islam, tetapi sekaligus masih memelihara nilai-nilai Hindu dan lokal. Berdasarkan Teks Raja Alam, dengan volume teksnya besar dan jangkauan struktur teksnya luas, dan dianggap sakral oleh masyarakat pendukungnya hingga sekarang, dengan jelas memperlihatkan hal itu. Teks ini mengisahkan “perjalanan” tokoh-tokoh keturunan Mambang Kuning di kayangan dalam mendirikan kerajaan-kerajaan di bumi. Dalam “perjalanan” itu dikisahkan bahwa anak pertama Mambang Kuning belum memeluk Islam. Hal serupa masih terlihat pada tokoh Raja Alam, Raja Saih, dan Awang Kamarudin. Nilai-nilai Islam baru terlihat dalam episode ke-6 yang mengisahkan tokoh Awang Kebarin atau Raden Beruk. Dalam banyak hal, tokoh ini menentang nilai-nilai yang diyakini oleh orang tuanya. Perkawinannya dilakukan dilakukan di depan kadi, ulama, dan para pandita. Dia menetang perilaku ayahnya yang kerap menindas orang miskin. Namun, di bagian akhir teks, yakni episode yang mengisahkan keturunan terakhir Mambang Kuning, dikisahkan betapa kuatnya kepercayaan Awang Kesukma kepada mahluk-mahluk halus; bahkan istrinya pun berasal dari sebuah patung kayu pelaik yang dihidupkan oleh seorang pertapa.

Sastra lisan ini juga diungkap (Chiril Effendi, 2003) pada masyarakat Melayu Sekadau dan Ketapang. Misalnya budaya sastra lisan kesah adalah cerita tentang asal-usul kejadian dan keberadaan manusia di dunia; cerita adalah cerita tentang petualangan dan kesaktian tokoh pahlawan yang dipercaya sebagai tokoh historis; dan, ngkaya adalah cerita yang dianggap sebagai rekaan atau imajinasi tukang cerita. Penuturan teks dianggap merupakan sarana pewarisan nilai-nilai luhur yang dipelihara oleh nenek moyang mereka selama berabad-abad; sistem nilai yang menjadikan mereka mampu menghadapi deraan zaman yang selalu berubah.
Seorang pemuda Melayu yang berkecimpung dalam masalah revitalisasi kebudayaan budaya Melayu Sambas yang mendorong kebudayaan sebagai alat dan proses transformasi menyatakan. “Melayu punya Budaya yang besar, budaya gotong royong, sebagai pekerja keras, cinta kasih bukan budaya kekerasan,ini yang hrus di hidupakan lagi. Sejarah sambas yang sangat luar biasa hebatnya dalam membangun budaya,yang di awali dengan pendidikan, pada saat lalu bagaimana sekolah–sekolah yang berbasis agama (pesantren)sangat banyak,di pesantren anak-anak yang dididik agama di ajarkan cinta kasih saling menolong dan gotong royong dan kita tahu di pesantren itu semua etnis ada, mereka saling berbaur bergaul tanpa membedakan asal dari mana dan etnis apa.”

Masyarakat Melayu yang dipandang sangat egaliter. Ketokohan dan penokohan orang tertentu dalam simpul massa sebagai representasi juga hanya berlaku untuk kelompok yang sangat kecil. Bayangkan berapa banyak pemuka atau tokoh yang harus diajak bicara jika untuk mengambil keputusan besar seperti rekonsiliasi dan perdamaian di masyarakat Melayu Sambas, misalnya. Ini yang disebut Hanifan (dalam Rusydi, 2003) sebagai modal sosial. Hanifan mengatakan modal sosial merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.

Sudah banyak pertemuan yang dilakukan dalam masyarakat Melayu, antar masyarakat Melayu dengan kelompok etnis lainnya dalam menyikapi dan menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Di sebuah pertemuan yang disebut rembuk kampung, dilakukan di Singkawang, peserta terdiri dari kelompok etnis Melayu, Dayak, Tionghoa dan beberapa masyarakat Jawa mengungkap kesan bahwa mereka mau terlibat dalm upaya-upaya perdamaian atau peneyelesaian perselisihan atau konflik dengan cara damai. Dari pertemuan tersebut digali dan dikongsikan pendapat dan mengungkap akar masalah konflik, menepis stigmatisasi (pelabelan suatu kelompok masyarakat dengan cap tertentu yang negatif) dan melihat peluang perdamaian. Pada akhir pertemuan dilihat bagaimana kemungkinan untuk bekerjasama menyelesaikan masalah tanpa melihat perbedaan dan mencari persamaan mendasar dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Setidaknya ini sebagai permulaan yang baik, selain bahwa menyiratkan upaya perdamaian ini akan melibatkan banyak sekali orang melayu dalam waktu yang lama.

Kondisi perekonomian yang terpuruk sejak krisis ekonomi global yang menyebabkan Indonesia terpuruk secara global berdampak buruk bagi perekonomian di Sambas. Misalnya sejak jeruk sudah tidak bisa menyangga lagi perekonomian di Tebas, kelompok muda usia produktif banyak yang menganggur, menimbulkan stress sosial yang mendorong orang melakukan kekerasan dipicu dengan penyebab apapun. Banyak yang ’melarikan’ diri ke Malaysia untuk bekerja sekedar mencari sesuap nasi.
Dari hasil pembicaraan warung kopi sampai survey ilmiah yang dilakukan menunjukkan bahwa juga pertemuan, dialog atau rembuk yang dilakukan harus sangat memperhitungkan kelompok muda dibawah umur 30 tahun ke bawah, terutama dilakukan pada masyarakat Melayu Sambas. Kelompok umur ini adalah kelompok yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan dan merupakan kelompok yang kuat menolak upaya-upaya perdamaian apalagi pemulangan kelompok masyarakat Madura ke Sambas. Untuk memulai perdamaian dan upaya-upaya lainnya harus dimulai dari kelompok umur ini, yang kemudian mampu bergerak, menggelembung untuk menggerakkan perdamaian secara lebih luas dan terorganisir.

Bentuk upaya ini tentunya tidak dilakukan hanya sekali dua kali, bahkan mungkin perlu hitungan ratusan dengan memperhitungkan besarnya kelompok masyarakat Melayu, dan memperhitungkan banyaknya wilayah yang harus dilakukan upaya pertemuan, rembuk dan rapat, atau bentuk pertemuan lainnya kalau memperbincangkan masalah konflik, resolusi dan menciptakan perdamaian.
Berangkat dari penglibatan, pertemuan harus berangkat dari kampung. Sebuah kegiatan yang dilakukan yang disebut ‘rembuk kampung’ misalnya dilakukan di daerah ‘penyangga’ Singkawang mensyaratkan penglibatan masyarakat yang egaliter ini dari bawah. Sebuah rembuk di kampung selanjutnya bisa dilakukan secara bergerilya dari satu kampung ke kampung lain, melelahkan memang, tapi sangat layak dicoba dan menglibatkan peran pemerintah, organisasi rakyat dan organisasi sipil secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Nanti akan kita lihat sejauh mana kondisi politik, niat baik politik negara mensikapi masalah ini.

Melakukan pertemuan ini seperti menebak teka-teki besar dimana setiap upaya mewakili satu potongan kecil yang dengan teliti dan hati-hati diletakkan sebagai bagian dari sebuah teka-teki yang besar. Karena tidak ada formula atau rumusan yang manjur untuk membngun perdamaian. Cara yang satu tidak mungkin sama bisa dilakukan ditempat yang lain. Yang harus dilakukan adalah berupaya membangun perdamaan tersebut, menggali potensi dan mencoba melakukannya.

Apalagi dengan mengentalnya identitas Melayu dengan bermunculan organisasi adat, pemuda dan budaya melayu. Setiap upaya ini berkontribusi sangat besar dalam menciptakan potensi damai dengan melakukan upaya perdamaian dengan melibatkan organisasi tersebut. Organisasi seperti Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM), termasuk lembaga kesultanan dari seluruh Kalimantan Barat, harus dipandang secara positif dan merupakan modal sosial potensi perdamaian yang besar dalam upaya menciptakan perdamaian, melalui dialog, pertemuan, rapat-rapat dan tindakan bersama. Tentunya jangan dilupakan organisasi basis dan organisasi rakyat (yang mungkin bahkan tidak pernah kita dengar dan ketahui hanya karena tidak masuk koran dan televisi) yang menyebar di kampung, di kota dan pesisir yang harus secara progressif difasilitasi. Penglibatan menjadi kata kunci dalam hal ini, menepikan titik potong bahwa organisasi ini juga mungkin dibentuk dengan motif-motif politik, yang memperkuat politik identitas dan perebutan kekuasaan. Secara de facto (kenyataannya) organisasi ini menyimpan potensi transformasi rekonsiliasi yang sangat besar, pengubah konflik menjadi perdamaian dan menjaganya.

Situasi sekarang sudah berubah, karena perjalanan waktu tentunya. Secara klasik banyak yang mengungkapkan bahwa waktu menyembuhkan semua luka. Beberapa kelompok Melayu menganggap ini sebagai pertanda perubahan situasi yang membaik dan senang mengakui bahwa perubahan ini ada dan sedang berlangsung. Dari sebuah pertemuan tentang peringatan dini konflik, seseorang yang merasa dari kelompok Melayu mengungkapkan, “Kalau kami sudah biasa melihat orang Madura melakukan transaksi jual beli, melakukan urusan tanah di Sambas.” Beberapa orang juga mengungkapakan kemungkinan yang sama dalam mengembangkan perdamaian, misalnya seorang ketua organisasi majelis ulama di Sambas mengungap ”Dalam membangun perdamaian dan pencegahan konflik di Sambas adalah adat istiadat yang harus di hidupkan, contoh adat pernikahan (walimah) tamu undangan tidak hanya yang berada di sekitar kampung bahkan antar kampong, Acara adat walimah bisa di jadikan media untuk menyampaikan pesan-pesan kerukunan hidup antar umat dan masyarakat, karena pada acara tersebut tokoh-tokoh masyarakat di beri kesempatan untuk menyampaikan pesan tentang kerukunan antar keluarga dan masyarakat,jika kerukunan terwujud maka akan terwujud perdamian. Beberapa orang mengungkapkan“. Saye terkadang kumpul dengan kawan-kawan bertanya dengan mereka sudah berapa anak, apakah ada anak yang usia 20 tahun, kalau ada mungkin anak mereka kuliah di luar, Saya mencoba memberikan pemikiran, cobe lihat anak kita bisa sekolah keluar Sambas dengan aman ngape kite tak tak bise.

Lebih lanjut beliau mengungkapkan “Cerita konflik di kab sambas saat ini sudah berkurang,karena pada saat Bupati turun kelapangan akan meyampaikan pesan bagaimana akan membangun kehidupan yang damai dan mewukudkan pembagunan kalau kita saling meyerang atau selalu rebut.”
Harus diakui ini kondisi yang berbeda di Sambas dan perlu perhatian khusus termasuk melihat kondisi damai disyaratkan tidak hanya bertumpu pada keberhasilan pemulangan pengungsi ke lokasi di Sambas, tapi juga dilihat bahwa dengan hidup terpisah juga harus dilihat pemenuhan hak dan keadilan kedua belah pihak. Mediasi yang adil dan menjamin pemenuhan hak secara damai merupakan kuncinya. Setelah dibangun pemenuhan hak dan memenuhi keadilan dua belah pihak maka akan menjadi modal sosial untuk berinteraksi ke tahap berikutnya. Ini yang disebut kondisi sosial dimana orang beinteraksi tanpa curiga dan memperoleh kepercayaan adalah kunci modal sosial yang kuat. Bagaimanapun juga ini potensi damai.

Beberapa hal patut menjadi catatan dari mengapa kondisi ini bisa terjadi. Tentunya secara optimis ini bisa berlanjut kepada bentuk damai yang lainnya.
Untuk membangun modal sosial ini perlu dilakukan cara mendasar dalam komunikasi untuk saling bertemu dan mengemukakan pendapat. Disebutkan oleh dalam pembicaraan (wawancara) salah yang aktif dalam organisasi kepemudaan mengatakan perlu dibangun silaturrahim (jalinan persaudaraan). ”Atau bise dicoba buat acara silaturahmi untuk bersilaturahim seminggu berikut, ye silaturahim lagi agar timpul kedekatan lagi antara masyarakat yang dulu hidup rukun damai.”

Penulis memandang sebagai masyarakat yang egaliter, perlu dilakukan tindakan afirmatif yang disepakati oleh kelompok yang menggelinding dan membesar untuk membentuk komitmen, kesepakatan dan tindakan bersama.
“Rekonsiliasi dan perdamaian di Sambas antara etnis Melayu dan Madura itu dapat dilakukan dengan model berjaringan, dimana proses ini tidak hanya sebatas mengumpulkan orang, tapi juga melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga harus mencari kawan yang lain supaya banyak yang teriak perdamaian dan menjadi buah bibir.”

Proses berjaringan ini seperti terungkap dalam diskusi adalah tidak hanya sebatas mengumpulkan orang-orang tapi juga melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga harus mencari kawan yang lain seperti multi level marketing. Dikatakannya bahwa proses ilmiah terlalu lama, perlu di lakukan intervensi atau tekanan dari orang-orang yang sepaham. Begitu juga anak-anak mahasiawa yang kuliah di Pontianak, misalnya, coba buat diskusi,pertemuan,komunikasi,karena hal itu jarang di lakukan,mungkin mereka-mereka sama-sama tak takut mau mulai sehingga saling menunggu,hal ini di lakukan untuk merubah pandangan bahwa Sambas sudah aman dan damai.

Politik Perdamaian
Untuk mencari sumber-sumber atau kekuatan-kekuatan perdamaian dengan mengutamakan kearifan masyarakat dalam menjaga dan memelihara perdamaian, resolusi konflik, baik sebagai upaya pencegahan konflik maupun penyelesaian konflik yang tengah berlangsung adalah dengan menciptakan peluang dan mendorong upaya. Pemerintah secara struktur memegang peran yang sangat penting untuk memfasilitasi perdamaian, mendiseminasi atau bahasa sosialisasi dengan melibatkan peran luas masyarakat secara langsung. Keseimbangan sistem politik dan ekonomi, termasuk mengukur politik identitas etnis tanpa disertai kekerasan akan menjadi peluang dan model sistem perdamaian yang akan dibangun.

Desentralisasi mulai dari kampung bertujuan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan dengan meningkatkan keterlibatan serta partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya sehingga terwujud pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel. Dalam prosesnya diberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan kepentingan keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara demokratis. Terakhir, untuk membangun kesalingpercayaan antar masyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dan pemerintah di pihak lain.

Para bupati sekarang sudah dipilih langsung oleh rakyat, memiliki legitimasi lebih kuat dan mempunyai peluang membangun perdamaian yang lebih luas dalam struktur kekuasaan. Partisipasi rakyat dalam pemerintahan demokrasi yang dianut mengakomodir kepentingan masyarakat yang paling bawah diwali dengan pemerintah memperhatikan pembiayaan di kampung atau di desa. Sedikit, tapi ini permulaan.
Masyarakat Melayu sendiri mengungkapkan bahwa yang terpenting adanya kemauan politik dari kepala daerah. Dikatakan bahwa banyak moment yang bisa di manfaatkan oleh pak Bupati untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa hidup damai dengan semua etnis.”Mun (kalau) dilakukan paling tidak sudah mulai ada perubahan berfikir walau sedikit di masyarakat, kan tidak mungkin pada saat bupati omong gayye (begitu) lalu di serang masyarakat disiyye (disitu), bupati adalah bupati yang di pilih langsung.”

Catatan Kecil
Potensi damai adalah potensi yang dihimpun dari kekuatan kecil menjadi kekuaatan besar, dari kekuatan individu menjadi kekuatan kolektif. Orang Melayu berpribahasa, ”sikit-sikit, lama-lama jadi bukit”, tidak ada yang basi dan usang dengan peribahasa ini.
Menghimpun potensi damai yang ada, adalah untuk menciptakan momentum perdamaian dan kembali menghimpun momentum itu, merangkainya menjadi bangunan teguh dan kokoh. Membangun kebijakan politik yang mengakomodir pendidikan perdamaian, usaha perdamaian lainnya tetap juga harus dimulai dari kampung ke kampung. Beberapa rembuk kampung bisa dihimpun. Sejauh ini rembuk kampung yang melibatkan paertisipasi orang kampung secara luas dari mulai isu korupsi, Anggaran Dana Desa (ADD), perempuan dan membangun gerakan Credit Union di masyarakat Melayu dapat menjadi sebarang pintu untuk menuju perdamaian. Kalau sudah tidak ada lagi yang berbuat memang harus orang Melayu sendiri yang bangkit dari keterpurukannya. Sebagai pembangkit semangat mungkin perlu diingat untuk mengangkat harkat dan martabat puak Melayu.

—oo000oo—

Bahan Bacaan

Antonius Maria Indrianto, dkk (Ed.), 2001, Perangkat Pembangun Perdamaian: Contoh-Contoh Kerja dari Para Aktivis Perdamaian di Indonesia. Tanpa Penerbit: Cetakan Kanisius

Chairil Effendi, 2001, Menegakkan Identitas: Fenomena Kontemporer Kaum Melayu Kalimantan Barat, makalah disampaikan pada dalam Persidangan Melayu Antara Bangsa, Kuala Lumpur, 12—14 Oktober 2001

——————, 2002, Sastra Lisan Melayu-Polinesia:Data dari Penelitian di Kalimantan Barat, makalah dalam Seminar dan Festival Melayu – Polinesia, Kuala Lumpur, 29 Oktober – 2 November 2002

——————, 2003, makalah dalam Workshop Ethnic Minorities in Southeast Asia, March 29 and 30, ATMA, Bangi, Malaysia.

Miall, Hugh, 2001, The Berghof Handbook for Conflict Transformation, Berghof Research Center for Constructive Conflict Management

Urai Endang Kusumajaya dan Tarmizi Karim, makalah dalam Konferensi Antar Universiti di Borneo-Kalimantan Ke-1: Transformasi Sosial Masyarakat-masyarakat di Daerah Pesisir Borneo-Kalimantan, Kuching, Sarawak, Malaysia, pada tanggal 29-30 Agustus 2005.

——————————-

bagian dari rangkaian tulisan “Mutiara Damai Dari Kalimantan”, diterbitkan Institut Dayakology, 2007

0 Responses to “Potensi-Potensi Perdamaian Masyarakat Melayu”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Visitors

  • 17,587 viewers visited my blog
November 2008
M T W T F S S
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930

Visitors’ Countries

Links to National & I’nal News

NEWS

RSS Antara News

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.